Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
HAIINDONESIA.COM – Hilirisasi merupakan teori kuno dalam pembangunan ekonomi. Hilirisasi adalah pembangunan sektor industri lanjutan dari industri sebelumnya.
Dalam pembangunan ekonomi dan industri, hilirisasi dinamakan forward integration atau forward linkages, yang merupakan teori lama. Kenapa baru sekarang heboh?
Hilirisasi adalah integrasi sektor industri dari industri sebelumnya. Misalnya, bijih nikel diolah, dilanjutkan, menjadi Feronikel, Nikel Pig Iron (NPI), Nikel Matte, dan seterusnya.
Baca Juga:
Puji Prabowo Subianto di Sela APEC, PM Kanada Justin Trudeau: Kepemimpinan Anda Luar Biasa
Sekali lagi, konsep hilirisasi seperti ini sudah dilakukan sejak lama di berbagai negara di seluruh dunia. Konsep usang. Kenapa sekarang baru heboh dan merasa hebat?
Hilirisasi juga terjadi di masa pemerintahan Soeharto dan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pemerintahan Soeharto pernah melarang ekspor kayu bulat (log), untuk kemudian dilanjutkan (hilirisasi) menjadi misalnya produk kayu gergajian dan plywood, atau produk-produk kayu lainnya.
Seperti industri mebel kayu yang pernah menjadi bisnis utama Pak Jokowi dulu. Bahkan wacana hilirisasi produk kayu sudah disampaikan Pak Harto tahun 1971.
Baca Juga:
Rilispers.com Pasarkan Publikasi Press Release di 150+ Portal Berita Milik Sapulangit Media Center
Angkat Bicara Soal Pasangan Hidup, Artis Cantik Prilly Latuconsina, Tak Terlalu Ngoyo Soal Jodoh
Pemerintahan SBY juga pernah melarang ekspor rotan mentah, untuk dilanjutkan atau dihilirisasi menjadi produk-produk jadi berbasis rotan.
Pemerintahan SBY juga pernah berencana melarang ekspor kulit mentah, untuk dilanjutkan menjadi produk-produk berbasis kulit, seperti pabrik sepatu dan lainnya.
Ketika itu, hilirisasi sebuah pembangunan industri biasa-biasa saja. Tidak ada heboh, karena tidak ada pencitraan.
Tidak ada yang menghitung berapa manfaat hilirisasi, berapa manfaat ekonomi dari hilirisasi atau forward linkages tersebut.
Baca Juga:
Zulhas Kumpulkan Kementerian dan Badan di Bawah Kemenko Bidang Pangan, Bahas Swasembada 2028
Prabowo Subianto Ingin Pengawasan Tindak Korupsi Makin Ketat, Sebut akan Tegakkan Hukum dengan Tegas
Padahal selama periode 1979-1989, 10 tahun, pertumbuhan ekonomi dalam nilai riil rata-rata 5,75 per tahun (compound).
Meskipun pertumbuhan ekonomi pada 1982, 1983 dan 1985 anjlok, masing-masing 2,2 persen, 4,2 persen dan 2,5 persen, akibat krisis ekonomi global.
Pertumbuhan ekonomi dalam nilai nominal lebih dahsyat lagi, mencapai 17,97 persen per tahun selama 10 tahun (compound).
Pertumbuhan ekonomi era Soeharto ini jauh lebih tinggi dari era Jokowi sekarang. Bagaikan langit dan bumi.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Pertumbuhan ekonomi nilai riil era Jokowi selama 8 tahun (2014-2022) hanya 3,18 persen per tahun.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi nilai nominal, untuk periode 2014-2022, hanya 6,36 persen per tahun.
Jadi, di mana hebatnya ekonomi era Jokowi yang digadang-gadang harus dilanjutkan? Yang kelihatan hebatnya malah kebocoran APBN, tambang ilegal, TPPU, dan …. apa lagi ya.
Apakah ini yang mau dilanjutkan? Prestasi pas-pasan seperti itu, tetapi klaim seolah-olah sudah menjadi yang terbaik, di dunia lagi? Apakah masih sehat?
Hilirisasi, seperti pembangunan industri lainnya secara umum, pasti memberi manfaat bagi ekonomi, pasti meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto, PDB).
Investasi, di sektor industri apapun, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Maka itu, salah satu variabel pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Hal ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Malu. Seperti baru tahu saja. Atau memang baru tahu?
Yang menjadi pertanyaan, siapa yang menikmati manfaat pertumbuhan ekonomi tersebut? Sekali lagi, Siapa?
Ini yang menjadi perdebatan inti dari permasalahan investasi secara umum, atau permasalahan hilirisasi khususnya hasil tambang di sektor industri nikel sat ini. Sekali lagi, siapa yang menikmati?
Yang menikmati investasi, dan hilirisasi, tentu saja investor sebagai pemilik modal.
Mereka yang akan menikmati surplus usaha atau laba, yang di dalam ekonomi dinamakan “nilai tambah”.
Kalau investor tersebut pihak asing (PMA) maka manfaat ekonomi dinikmati asing. Kalau investornya pengusaha domestik (PMDN), maka manfaat ekonomi dinikmati pengusaha domestik.
Kalau investornya pihak negara (BUMN), maka manfaat ekonomi dinikmati oleh negara. Mudah-mudahan sampai di sini jelas.
Nah, siapa investor smelter nikel? Kalau X persen investasi smelter dikuasai asing (PMA), maka X persen manfaat hilirisasi dinikmati asing. Pertanyaannya, berapa X persen tersebut, apakah 90 persen atau 100 persen?
Kemudian ada yang klaim, bahwa hilirisasi juga dinikmati oleh masyarakat dan negara, dalam bentuk tenaga kerja, pajak, bea, royalti dan macam-macam.
Ini kekeliruan yang besar. Sudah pasti investasi akan membuka lapangan kerja, meningkatkan penerimaan pajak, dan seterusnya.
Tetapi, semua itu akan diperoleh negara, siapa pun investornya, apakah PMA, PMDN, atau BUMN.
Jadi, ini bukan manfaat hilirisasi, tetapi manfaat dari pembangunan ekonomi yang memang bertujuan membuka lapangan kerja.
Dan, sebagai konsekuensi penerimaan pajak, bea, royalti, dan seterusnya juga akan naik.
Untuk menarik investasi, kadangkala pemerintah memberi insentif, misalnya tax holidays, bebas royalti, bebas bea keluar, bea masuk, atau lainnya. Insentif juga diberikan untuk investasi di smelter (hilirisasi) nikel.
Apa arti insentif? Insentif adalah memberi keuntungan (atau manfaat) ekonomi tambahan untuk investor. Itu namanya insentif.
Umumnya, karena sektor tersebut kurang menarik. Tingkat keuntungan tidak cukup. Sehingga diberi insentif.
Tetapi, insentif yang tidak tepat bisa merugikan keuangan negara. Karena yang menanggung insentif adalah negara.
Bagaimana dengan insentif smelter nikel?
Pertama, apakah industri smelter nikel tidak menarik bagi investor? Sepertinya sebaliknya, hilirisasi nikel akan menjadi rebutan mengingat nikel menjadi komoditas sexy yang diperlukan dunia.
Karena itu, pemerintah seharusnya tidak boleh memberi insentif untuk sektor smelter: siapapun investornya, apakah PMA, PMDN atau BUMN.
Maka itu, pemberian insentif untuk smelter nikel berarti merugikan keuangan negara.
Kedua, pasal 33 ayat (3) UUD mengatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
“Untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, tidak bisa lain harus dimiliki oleh negara.
Oleh karena itu, hilirisasi nikel yang sangat menguntungkan tersebut seharusnya dilakukan oleh negara, oleh BUMN.
Sehingga manfaat hilirisasi nikel bisa dinikmati oleh negara, oleh rakyat, seperti amanat konstitusi.
Bahkan Jokowi mengatakan, dikonfirmasi oleh Septian Hario Seto, Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, bahwa manfaat hilirisasi nikel pada 2022 mencapai Rp510 triliun.
Kalau manfaat ini dinikmati oleh PMA, maka Jokowi diduga merugikan keuangan negara, sebesar nilai manfaat tersebut, Rp510 triliun plus insentif, serta melanggar konstitusi.***